Kampoeng Kopi Banaran bukan hanya destinasi, tetapi juga ruang belajar bagi semua tentang arti keseimbangan hidup, ketika manusia, budaya, dan alam bertemu dalam satu harmoni. ANTARA/HO-PTPN I.
udara sejuk, panorama danau dan gunung, keramahan warga, serta kekayaan budaya setempat bukan sekadar latar belakang, melainkan aset tak ternilai yang menjadi ruh kawasan ini
Jakarta (ANTARA) – Ada tempat di kaki Merbabu, di mana aroma kopi bercampur dengan napas bumi, dan kehidupan berjalan seirama dengan alam dan budaya.
Di sanalah, tempat kabut tipis setia menggantung di antara pucuk pepohonan ketika sinar matahari mulai menyapa. Selamat datang di kawasan Kampoeng Kopi Banaran di Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang.
Suhu udara pagi di wilayah itu konsisten pada sekitar 24 derajat celcius, sejuk dan menyegarkan. Umumnya pagi akan disemarakkan oleh burung-burung yang berkicau bersahutan.
Di saat yang sama, aroma kopi segar merebak perlahan dari kebun, dan dari kejauhan, permukaan Danau Rawa Pening memantulkan cahaya keemasan yang memanjakan mata.
Setiap akhir pekan, pemandangan seperti ini menyambut para pengunjung yang datang berduyun-duyun, mencari ketenangan, keindahan, dan pengalaman yang tak sekadar menjadi pelarian sesaat, melainkan perjalanan menemukan harmoni antara alam, budaya, dan kehidupan sosial.
Budi Sujarwadi, seorang pengunjung asal Mangkang, Semarang, tak menyembunyikan kekagumannya.
“Seperti orang Jakarta kalau mau ngadem ke Puncak, kami orang Semarang Bawah ya ke sini. Kampoeng Kopi Banaran ini favorit saya. Selain adem, alami, pemandangannya indah banget. Vibes suasana tradisional Jawanya kental sekali. Jadi suasananya terasa alami, modernnya tidak berlebihan,” ujarnya sembari memandang hamparan kebun kopi yang menyejukkan mata.
Pandangannya bukan sekadar pujian spontan, melainkan cerminan keberhasilan pengelolaan kawasan ini dalam merawat filosofi keberlanjutan dan pemberdayaan.
Kampoeng Kopi Banaran, yang dikelola oleh PTPN I Regional 3, bukan hanya destinasi wisata agro yang menawarkan panorama indah, tapi juga simbol sinergi antara bisnis dan kehidupan sosial.
General Manager Kampoeng Kopi Banaran, Mohammad Sunhaji, menegaskan bahwa keberadaan kawasan ini lahir dari kesadaran kolektif akan pentingnya mengelola aset negara secara bertanggung jawab.
“Sebagai perusahaan milik negara, kami diberi tanggung jawab moral. Profit itu penting, tetapi harus beresonansi terhadap kehidupan masyarakat sekitar,” ujarnya.
Bagi Sunhaji, udara sejuk, panorama danau dan gunung, keramahan warga, serta kekayaan budaya setempat bukan sekadar latar belakang, melainkan aset tak ternilai yang menjadi ruh kawasan ini.
Pendekatan ini terlihat nyata dalam strategi melibatkan masyarakat sebagai bagian integral dari ekosistem Kampoeng Kopi Banaran. Sekitar 300 warga sekitar bekerja di sini, baik sebagai karyawan tetap maupun pekerja musiman.
Mereka bukan hanya mengisi posisi teknis, tetapi menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan destinasi ini.
“Kami ingin tempat ini tumbuh bersama masyarakat. Kultur sederhana, keramahan, dan kehangatan warga adalah kekuatan yang justru membuat kawasan ini hidup,” kata Sunhaji.
Cerita Sugeng, seorang petani berusia 65 tahun, menjadi bukti nyata filosofi tersebut. Seusai musim tanam padi, Sugeng memilih bekerja sebagai tenaga lepas di Kampoeng Kopi Banaran.
“Setelah selesai tandur itu kan nggak ada kerjaan. Sawah saya juga nggak luas, jadi saya kerja serabutan di sini. Adanya Kampoeng Banaran ini sangat membantu, saya bisa dapat rezeki tambahan untuk keluarga,” ujarnya dengan senyum tulus.
Baca juga: Cerita dari Banaran tentang kebun kopi yang menghidupi
123Tampilkan Semua
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.